U
ngkapan bahasa Jawa "mati sajroning urip, urip sajroning pati" artinya mati dalam hidup, hidup dalam mati.
Penggambaran indah tentang falsafah kematian ini adalah dalam sosok Puntadewa. Puntadewa adalah nama lain dari Yudistira.
Yudistira adalah putra tertua pasangan Pandu dan Kunti, pewaris tahta Dinasti Kuru.
Asal usul Yudistira berawal dari Pandu yang berburu dan membunuh dua pasang rusa yang sedang bersenggama. Pandu tidak tahu bahwa rusa itu adalah jelmaan resi Kindamatanpa dan istrinya.
Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika bersetubuh dengan istrinya.
Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan takhta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan untuk mengurangi hawa nafsu.
Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya. Setelah lama tidak dikaruniai keturunan, Pandu mengutarakan niatnya untuk memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredayassegera mewujudkan keinginan suaminya. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putra darinya tanpa melalui persetubuhan. Putra pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putra sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan.
Versi lain dalam pewayangan Jawa, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti.
Kedua versi menggambarkan sosok Puntadewa sebagai seorang berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran. Dewa Dharma adalah simbol kedewataan yang mewakili kebenaran dan keadilan.
Kelahiran Puntadewa melalui ubun-ubun berhubungan dengan chakra paling atas yaitu chakra sahasrara atau mahkota. Segala hal yang berkaitan dengan kesucian diri berada di chakra tersebut.
Lalu, apa hubungannya dengan "mati sajroning urip, urip sajroning pati"?
Bagian cerita yang paling tidak disukai banyak orang adalah ketika Puntadewa berjudi dengan Sengkuni yang mewakili pihak Kurawa. Yudistira kalah berjudi dan telah mempertaruhkan segalanya, mulai dari kerajaan, adik-adiknya, bahkan istri tercintanya.
Cerita ini adalah simbol tentang pengorbanan ego. Untuk menyelami kebenaran sejati, maka kesenangan, kepentingan diri, segala kepemilikan, bahkan nama baik, itu semua mesti di korbankan.
Dalam bahasa Jawa, hal itu diungkapkan dalam "mati sajroning urip, urip sajroning pati". Kematian disini adalah matinya ego. Secara praktis adalah seperti berkeinginan untuk hidup bahagia dan tenteram. Semakin seseorang menginginkan kebahagiaan dan ketenteraman, maka semakin seseorang itu jauh dari kebahagiaan dan ketenteraman.
Mengapa bisa demikian?
Hal itu karena kualitas sejati mesti bebas dari ego. Selama berkutat pada pola kepentingan ego yang sama, maka seseorang tidak akan beranjak kemana-mana juga. Merasa "nyaman" dengan tidak beranjak ke mana-mana, inilah kebodohan bathin.
Swami Vivekananda pernah berujar, "Kebodohan disebabkan oleh egoisme, keterpikatan, kebencian, dan ketamakan." Ego adalah asal mula dari ketidakbahagiaan dalam hidup.
Orang yang selalu mati dalam hidup adalah orang yang senantiasa menjaga diri dengan membuang egonya. Hidupnya akan selalu tenteram dalam setiap perjalanan hidupnya.
(VAL)
0 comments:
Posting Komentar